Kamis, 16 Desember 2010

GEREJA PPIK , BAGAIMANA MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN ? ( oleh Markus Kanoh )

Pengantar

Beberapa waktu yang lalu sdr. Ir. Sudarmo Bahari, mengirim SMS juga melalui pesan FB kepada saya dengan permintaan agar saya ikut membuat sebuah tulisan tentang pengalaman selama pelayanan di GPPIK. Terus terang saya tidak punya banyak pengalaman ataupun dokumen tertulis apapun untuk memenuhi permintaan itu, sehingga untuk bahan tulisan ini sangat bergantung pada ingatan atas beberapa peristiwa yang telah terjadi puluhan tahun yang lalu. Untuk itu saya harus memaksa diri memutar ulang rekaman kejadian – kejadian yang pernah saya lihat dan alami dimasa itu. Mudah-mudahan bermanfaat.

Gereja PPIK ada- sebagai buah tangan dan doa misi RBMU ( Region Beyond Missionary Union ). Para misionaries yang berasal dari negara Canada, Amerika Serikat dan Australia dan mungkin juga ada dari negara lain, telah bekerja selama bertahun-tahun, meninggalkan negerinya yang kaya raya untuk hidup dan tinggal di Kalimantan Barat yang saat itu ( tahun 1950- an ) masih dalam keadaan yang serba susah. Kesulitan terbesar saat itu adalah buruknya transportasi dan komunikasi, jalan raya rusak parah, hubungan telpon,radio komunikasi belum ada. Demikian pula dengan kondisi sosial - ekonomi rakyat Indonesia pada umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, miskin dan masih terbelakang. Kondisi itu tentulah menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang terbiasa hidup dilingkungan yang bersih,sehat dan berkecukupan. Belum lagi masalah kesehatan dan kebersihan lingkungan, makanan yang berbeda dengan kebiasaan mereka serta kebudayaan yang berbeda pula. Kita tidak dapat membayangkan pengorbanan dan jerih payah mereka para misionari ini pada saat pertama kali menginjakkan kakinya di pulau Kalimantan ini.
Tetapi syukur kepada Tuhan kita Yesus Kristus bahwa dengan pertolongan dan penyertaan Roh Kudus, mereka dimampukan melewati masa-masa sulit itu dan berhasil bersama-sama dengan orang-orang tua kita mendirikan Gereja Tuhan yang saat ini dikenal dengan Gereja Persekutuan Pemberitaan Injil Kristus disingkat GPPIK.

Peranan dan Tantangan
Gereja walaupun sebagai sebuah institusi agama Kristen tidak bisa lepas dari pengaruh- pengaruh lingkungannya sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu, baik bersifat positip dan membangun maupun yang bersifat negatif dan merusak. Dengan perkataan lain mau atau tidak mau gereja akan bersentuhan dengan lingkungannya. Apalagi dalam dunia yang semakin maju ini, baik dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dalam keterbukaan informasi yang tidak mungkin dibendung, maka gereja harus bisa mengambil posisi yang benar agar tidak terjadi benturan yang tidak perlu tetapi sebaliknya mampu menjadi garam dan terang bagi dunia sekitarnya. Gereja harus siap menghadapi situasi itu ,antara lain melalui pengajaran yang sehat dan benar, kedisiplinan , keberanian untuk menyatakan kebenaran serta kepedulian /empati terhadap mereka yang bermasalah. Pengajaran yang benar sesuai dengan Firman Tuhan diperlukan guna menghadapi gempuran pengajaran sesat yang semakin berkembang dewasa ini. Kedisiplinan yang teguh untuk menghadapi gejala pragmatisme yang semakin mempengaruhi gereja. Berani berkata ya terhadap yang benar dan tidak terhadap yang salah harus terus dikumandangkan dalam dunia yang serba terbalik. Kepedulian terhadap mereka yang tergolong marjinal dan terjatuh dalam berbagai permasalahan sosial agar tidak merasa ditinggalkan sendirian sehingga mencari jalan keluar sendiri atau bahkan meminta bantuan kepada pihak luar. Kondisi seperti ini harus menjadi perhatian serius dari gereja dalam hal ini para pemimpinnya.

Sekitar tahun 60 - 70-an seingat saya, suatu pemandangan yang lazim dalam sebuah kebaktian umum digereja seseorang maju kedepan mimbar dan dengan wajah sendu dan tangis yang tertahan bersaksi mengaku didepan sidang jemaat bahwa ia telah berbuat dosa dan bersalah karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Firman Tuhan dan tata gereja. Perbuatan yang biasanya dianggap sebagai pelanggaran terhadap tata gereja saat itu seperti berjudi, minum minuman keras, balenggang, penyembahan berhala, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung karena tergabung dalam komunitas / kampung baik terang-terangan maupun yang tersembunyi.
Pengalaman saya selama menjadi Sekretaris Umum BPP, dalam rapat-rapat atau dalam sidang umum GPPIK juga sering terdengar pertanyaan atau bahkan perdebatan yang berkaitan dengan bagaimana caranya menghadapi anggota jemaat yang terlibat dalam penyembahan berhala, bagaimana menghadapi kampung yang melaksanakan balala’ , bagaimana menyelesaikan perkawinan antara yang Kristen dan animisme, masalah anggota gereja yang ikut balenggang, bagaimana sikap jemaat terhadap pesta babalak atau sunatan dll. Saya berpandangan bahwa dimasa itu gereja memang sedang bergumul dengan masalah – masalah tersebut serta berupaya mencari jawabannya sesuai dengan Firman Tuhan dan Tata Gereja. Saya tidak tahu apakah pemandangan itu masih bisa kita temui saat ini dilingkungan GPPIK. Mungkin saja sudah tidak ada lagi karena kita semakin toleran dan longgar dengan masalah-masalah moral dan etika terkait dengan kebebasan dalam pergaulan yang semakin luas dan terbuka dengan dunia luar. Keprihatinan dan pergumulan gereja kita mungkin bukan disana lagi, tetapi dibidang lain seperti masalah bagaimana menangkal pengajaran sesat, bagaimana menjawab pertanyaan tentang doktrin,bagaimana menghadapi penyalah gunaan narkoba, kenakalan remaja, premanisme dan masalah masalah sosial lainnya.

Hal lain yang sering menimbulkan permasalahan dalam pelayanan adalah mutasi atau pemindahan pelayan atau gembala dari satu jemaat ke jemaat yang lain atau dari satu daerah pelayanan ke daerah pelayanan lain ( GPPIK dulu dibagi atas Daerah I s/d Daerah V ). Dalam setiap Sidang Umum selalu ada keputusan mutasi, baik oleh permintaan yang bersangkutan ataupun untuk mengisi kekosongan disalah satu jemaat atau pertimbangan lain lain. Dalam hal ini timbul permasalahan dalam implementasi keputusan misalnya bagaimana masalah penggajian, biaya pindah,perumahan dan sebagainya. Permasalahan ini timbul karena pemindahan atau pertukaran pelayan belum disertai dengan perencanaan yang matang, bahkan kadang-kadang usulan baru muncul disaat sidang umum sehingga keputusan diambil tanpa konsultasi yang mendalam. Akibatnya jemaat penerima tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan dan jemaat yang ditinggalkan tidak bisa berbuat apa-apa.

Sampai dengan sekitar tahun 1970-an, anggota gereja PPIK yang mencapai tingkat pendidikan S1 sangat jarang atau boleh dikatakan belum banyak. Dapat dibayangkan bagaimana kualitas SDM warga gereja dan pemimpin gereja dikala itu. Yang bergelar sarjana teologia saya rasa belum ada. Menjadi pergumulan dan diskusi panjang yang melelahkan dalam rapat rapat Badan Pimpinan Pusat dan sidang umum, tentang bagaimana agar kualitas SDM para pelayan Gereja ( Gembala Sidang ), guru Sekolah Alkitab Berea, guru SD dan SMP bisa ditingkatkan. Caranya harus ada terobosan untuk mengirim putra/ putri terbaik gereja untuk mendapatkan pendidikan diluar pulau Kalimantan yaitu dengan mengirim calon calon hamba Tuhan kuliah diluar daerah atau di pulau jawa. Sementara itu keinginan dan cita-cita tidak sejalan dengan kemampuan keuangan gereja/organisasi. Dukungan badan missi RBMU juga tidak seperti yang diharapkan, padahal harapan terbesar ditaruh diatas pundak mereka. Yang menjadi pertanyaan saya saat itu apakah RBMU memang tidak memiliki sumber dana yang cukup untuk memberikan bantuan keuangan / bea siswa, atau kurang yakin dengan kemampuan putera daerah atau memang tidak sejalan dengan visi / misi mereka. Karena setiap kali membicarakan masalah sekolah tidak pernah tuntas dalam hal pembiayaannya. Saya rasa disisi keuangan /finacial gereja inilah menjadi tantangan tersendiri bagi setiap Ketua Umum yang terpilih dalam Sidang Umum. Pengurus BPP selalu berupaya bagaimana caranya agar gereja mampu mandiri dalam masalah keuangan. Bukan hanya untuk mendukung program program kerja, tetapi juga untuk kegiatan rutinpun mengalami kesulitan. Beberapa jemaat lokal yang dianggap memiliki potensi saat itu misalnya, gereja Anik, Ansang dan Pontianak pun belum bisa menjadi tumpuan karena merekapun harus berjuang untuk membiayai dirinya sendiri.

Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar warga gereja PPIK adalah petani/peladang yang sangat memprihatinkan kondisi ekonomi rumah tangganya. Jangankan untuk biaya sekolah bahkan untuk hidup se hari-hari pun susah. Hal ini berkaitan dengan kondisi perekonomian negara saat itu memang kurang baik ditambah lagi sarana perhubungan yang rusak. Hampir-hampir tidak ada hubungan dagang yang lancar antara desa dan kota. Harga komoditi pertanian sangat rendah tetapi sebaliknya harga barang konsumsi sandang pangan dari kota mahal, sehingga tidak berimbang. Komoditi yang dapat dijual dan menghasilkan uang satu-satunya adalah karet, sedangkan komoditi lainnya hampir-hampir tidak ada pasarnya. Kemakmuran akan sedikit terasa jika musim tengkawang tiba. Orang kampung tua muda besar kecil bisa pegang uang, bisa beli baju dan celana bahkan pasang gigi emas.tetapi itu hanya sekejap saja. Paling lama tiga bulan dan sesudah itu kembali kepada keadaan semula.
Bersyukurlah sekarang ini bahwa tingkat perekonomian dan kualitas SDM warga gereja maupun para pemimpin gereja sudah diatas rata-rata. Keperluan sandang pangan sudah terpenuhi. Memiliki kendaraan roda dua maupun roda empat bukan suatu kemewahan lagi. Gelar sarjanapun bukan suatu hal yang langka lagi. Tidak sedikit yang memegang jabatan di Instansi Pemerintahan dan juga sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Profesi sebagai Pegawai Negeri dan berkarir di swastapun sudah cukup banyak. Semuanya itu harus disyukuri sebagai sebuah karya nyata dan pembelaan Tuhan bagi Gereja PPIK.

Kalau kita menoleh kebelakang, salah satu upaya nyata para pendiri gereja PPIK adalah keberaniannya untuk mendirikan sekolah rakyat / dasar di Anik pada sekitar tahun 1950 an. Keberanian ini patut dicatat dengan tinta emas mengingat saat itu sumber daya manusia yang ada sangat terbatas atau bahkan tidak ada, namun memiliki keberanian untuk menjadi pengajar alias guru. Kepada mereka yang telah berupaya sedemikian rupa walau dalam segala keterbatasan saat itu patut diberi acungan jempol. Hasilnyapun telah dapat dinikmati saat ini, karena tanpa keberanian apa jadinya GPPIK saat ini. Sayangnya sejalan dengan perkembangan zaman yaitu dibukanya sekolah dasar inpres oleh pemerintah sekitar tahun 70-an maka sekolah dasar GPPIK turut pudar walaupun dibeberapa tempat tetap hidup. Untuk menangani masalah pendidikan ini Gereja PPIK membentuk sebuah badan yang disebut Badan Pendidikan yang selanjutnya dibentuk sebuah yayasan pendidikan. Dalam segala keterbatasan itu sejarah tidak bisa dipungkiri dan telah terukir secara khusus dalam kiprah GPPIK sebagai bagian dari pelayanannya.

Terobosan kedua adalah membuka sekolah Alkitab Berea di Ansang – Darit. Pembukaan sekolah Alkitab bukanlah hal yang mudah. Pertama masalah tenaga pengajar. Kedua sarana dan prasarana. Belum lagi pendanaannya. Dalam segala keterbatasan juga sekolah Alkitab Berea dapat survive hingga saat ini dengan tetap menunjukan eksistensinya ditengah kepungan bermacam jenis pendidikan teologia yang menawarkan kemudahan – kemudahan antara lain bea siswa dan tentunya gelar. Dalam hal ini patut diingat jasa dan pengabdian hamba Tuhan yang setia seperti Pdt. E. R. Warkentin dan Nyonya, Nn Shelly, Nn G. Lima, dll serta beberapa nama lainnya yang tidak kenal lelah terus berjuang untuk memajukan sekolah Alkitab Berea baik sebagai pengajar maupun sebagai penyandang dana. Dari hasil didikan mereka lahir beberapa pengajar seperti Pdt. Paul Nyerom dan Isteri, Pdt. Kornelius Atok, Pdt.Nyangkui, Pdt. Napi Gading,Pdt. Otto Kanoh dll ( mohon maaf tidak semua nama disebutkan ).

Berani melangkah.
Suatu hal yang saya ingat adalah semangat beberapa pendeta misi RBMU untuk membuka daerah-daerah pelayanan baru, khususnya ditempat yang sulit dijangkau dan masih tertinggal seperti Sempatung, Tengon, dan kampung-kampung di wilayah kecamatan Air Besar. Kampung – kampung itu hanya dapat dijangkau dengan jalan kaki atau perahu. Sepeda motor masih merupakan barang langka. Terus terang saya tidak mengetahui lagi bagaimana perkembangan pelayanan di daerah itu saat ini.Mudah-mudahan terus berlanjut bahkan berkembang dengan baik. Disamping itu juga diwacanakan untuk merambah ke wilayah perkotaan seperti Pontianak, Mempawah, Ngabang bahkan diluar Pulau Kalimantan.

Bermula dari keprihatinan para Ketua-ketua Daerah tentang nasib siswa – mahasiswa warga GPPIK yang sedang bersekolah di kota Pontianak. Para siswa / mahasiswa ini terpaksa tinggal menumpang dengan orang lain. Dari sini timbullah ide untuk membangun asrama siswa – mahasiswa di kota Pontianak dengan tujuan agar mereka dapat belajar dengan tenang dan sekaligus terbina kerohaniannya. Berkat perjuangan yang gigih dari Badan Pimpinan Pusat dan Pengurus Daerah serta dukungan dari badan misi RBMU maka berdirilah Asrama Siswa” – Mahasiswa GPPIK ‘ GAMALIEL ‘ yang terletak di Jalan Nurali No. I Pontianak. Dari sinilah cikal bakal kiprah Gereja PPIK di kota Pontianak sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Barat. Sebagai pembina kerohanian siswa mahasiswa di Asrama Gamaliel beberapa nama patut diingat seperti Sdr. Peter Lehon, Sdr. Mahidin, Sdr. Sukardi , Pdt. OP Nyheim & Nyonya dll.
Begitu pula Guest House RBMU dijalan Fatimah no 7 pontianak juga sebuah monument bersejarah adanya GPPIK di pontianak. Rumah ini boleh dikatakan markas kecil bagi kaum muda/i GPPIK yang sedang belajar di kota pontianak. Berkumpulnya kaum muda disini tentunya dengan berbagai motivasi sebagai anak muda tentunya, namun satu hal yang pasti bahwa berkumpulnya kaum muda GPPIK disini merupakan satu unit persekutuan yang selalu hadir dalam membangun dan membina kerohanian kaum muda/i dengan diadakannya persekutuan dan kebaktian yang dipimpin oleh Pdt. Olav P Nyheim dan Nyonya.

Sejalan dengan kebutuhan yang semakin terasa karena bertambahnya warga gereja PPIK di kota Pontianak, baik oleh siswa – mahasiswa maupun mereka yang telah bertempat tinggal dikota pontianak karena pekerjaannya, maka diwacanakan adanya sebuah rumah ibadah yang permanen dan memenuhi syarat. Singkat kata maka berdirilah Gereja PPIK di kota Pontianak yang terletak di jalan WR Supratman. Gereja dibangun diatas tanah bekas kuburan warga tionghoa. Peresmian Gereja dilaksanakan oleh Walikota Madya Pontianak waktu itu bapak Madjid Hasan. Gembala jemaat pertama adalah Pdt. Paul Nyerom K. Namun dalam perkembangan selanjutnya sampai dengan saat ini baru ada satu jemaat tambahan yaitu jemaat di Siantan.Bandingkan dengan jemaat GKII yang relatif muncul belakangan, sampai saat ini telah berhasil mendirikan tujuh jemaat di kota Pontianak ( http.// gkii-maranatha blogspot.com ).

Bagaimana kedepan.
Sebagaimana telah disebutkan didepan bahwa gereja sebagai sebuah lembaga kerohanian kristen, tidak bisa lepas dari pengaruh dunia sekitarnya. Gereja seolah-olah dikepung oleh bermacam-macam tantangan yang memaksanya untuk terus berjaga-jaga agar tidak larut. Bagaimana jadinya jika sebuah kapal yang sedang dalam pelayaran menuju kesuatu tempat dimasuki oleh air laut dan tanpa terasa hampir tenggelam. Tantangan yang dihadapi semakin banyak dan berbagai ragamnya antara lain :

Dewasa ini banyak pengajaran yang menentang ke Kristenan dengan menggunakan Alkitab yang sama. Pengajaran yang meragukan ke Tuhanan Yesus Kristus ( lihat Ellen Kristi, Bukan Allah Tapi Tuhan, Borobudur Indonesia Publishing,2008 ), diketemukannya berbagai Injil palsu seperti Injil Thomas, Injil Yudas, Injil Barnabas, saksi jehovah,pengajaran yang meragukan Alkitab sebagai Firman Allah ( Jesus Seminar ) serta ditumbuhkannya pengaruh unsur-unsur budaya lokal didalam kekristenan , praktek-praktek perdukunan terselubung dengan berkedok agama kristen, dll.
Tayangan televisi dalam sekejap bisa menampilkan kejadian apapun yang nun jauh disana bahkan tempat yang tidak kita kenal sekalipun. Keterbukaan ini membawa konsekuensi tersendiri bagi gereja dewasa ini. Kejahatan ditayangkan dan dikomentari secara lugas dan terang-terangan.
Penyalah gunaan narkoba semakin merajarela, hidup mewah dan konsumtif dipamerkan secara terbuka, kegandrungan yang berlebihan pada berbagai jenis olah raga, aksi terorisme diperlihatkan secara detail, pergaulan bebas ditayangkan dari pagi hingga malam setiap hari.

Perkawinan campuran bukan suatu yang aneh lagi. Perkawinan antar suku ,antar agama yang berbeda banyak terjadi dan memberi goncangan tersendiri pula bagi warga gereja. Penyalah gunaan narkoba bahkan sudah merambah kedesa-desa, penyakit AID diderita oleh kaum muda diusia produktif, pengangguran terbuka maupun tersembunyi yang dialamai oleh anak muda terdidik, kriminalitas terjadi dimana-mana, bangkitnya animisme berselubung kebudayaan, dan lain sebagainya menuntut perhatian kita semua.

Disamping pengaruh negatif juga ditemui pengaruh positip seperti gaya liturgi dan ibadah yang dibawa oleh gereja – gereja aliran pantekosta / kharismatik yang hidup dan meriah, di iringi dengan peralatan musik lengkap dan nyanyian-nyanyian yang ringan dan meriah. Begitu pula pola ibadah dengan pujian dan penyembahan yang hidup dan gembira memberikan nuansa baru bagi suasana peribadatan yang dulunya terkesan monoton dan kaku kepada suasana yang meriah dan hidup. Siaran televisi juga menanyangkan hal hal positip seperti kebaktian kebangunan rohani dan pelayanan rohani oleh pendeta – pendeta yang dipakai oleh Tuhan dengan pengajaran yang membangun iman serta menampilkan mujizat dan kuasa Tuhan.

Penutup
Sebagai akhir dari tulisan ini saya ingin mengutip satu ayat dari Firman Tuhan yang terdapat dalam Kolose 3 : 17 ; Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan dan perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus,sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita. Amin -- Tuhan Yesus Memberkati.

Banjarbaru, Desember 2010.

3 komentar:

  1. Syalom Pak CPU-nya masih hebat khususnya memorinya masih bisa merecoll dengan baik, makasih dapat menambah wawasan saya GPPIK baru dengar dan sekarang tahu ceritanya, maju terus Pak saya tunggu tulisan berikutnya Tuhan memberkati

    BalasHapus
  2. shalom pak...
    saya pingin tau pak mengenai sejarah gereja GPPIK.
    saya jemaat GPPIK namun saya belum mengetahui dengan pasti mengenai tokoh yang mendirikan dan dimana.,, saya belum tau jelas...
    trimakasih pak.. Tuhan memberkati

    BalasHapus
  3. According to Stanford Medical, It is indeed the SINGLE reason women in this country live 10 years longer and weigh an average of 19 KG lighter than we do.

    (By the way, it is not about genetics or some secret diet and EVERYTHING related to "how" they eat.)

    BTW, What I said is "HOW", not "WHAT"...

    Click on this link to reveal if this short questionnaire can help you decipher your true weight loss potential

    BalasHapus